Film "Hafalan Shalat Delisa" Berkisah Tentang Tsunami Aceh

di tulis oleh: Tulisan Terakhir! on Rabu, 28 Desember 2011

TANGGAL 22 Desember lalu, ada dua momen yang dilaksanakan berbarengan dengan peringatan tujuh tahun tsunami Aceh, yang pertama adalah Seminar Nasional bertajuk "Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Manajemen Bencana" dalam rangka refleksi (lesson learned) 7 Tahun Tsunami Aceh dan Arahan Kebijakan Manajemen Bencana di Indonesia yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan sekaligus pemutaran perdana di bioskop film fiksi tentang tsunami Aceh yang berjudul "Hafalan Shalat Delisa." 

Seminar Nasional ini menghadirkan keynote speech Prof. Dr. Sudibyakto (Unsur Pengarah BNPB) dengan materi Peluang dan Tantangan Perguruan Tinggi dalam Manajemen Bencana (Belajar dari Negara Maju dan Indonesia), dan pemateri berikutnya yaitu yaitu Ir. Budi Atmadi Adiputro (Sekjen PMI Pusat) dengan materi Lesson Learned dari Pengalaman Menangani Bencana Tsunami Aceh, Dr. Danang Sri Hadmoko, M. Sc (UGM) dengan materi Risiko Multi Bencana di Indonesia, Prof. Sarwadi, MSCE, Ph. D (Guru Besar UII/Pengarah BNPB) dengan materi Lesson Learned Hasil Monev Penanggulangan Bencana di Indonesia. Acara seminar ini juga sekaligus dengan Pembentukan Student Association for Disaster Management (Asosiasi Mahasiswa Peduli Bencana) dari beberapa universitas di Indonesia. 

Seminar ini dihadiri hampir 300-an peserta yang memenuhi ruang seminar Lantai 5 Gedung Lengkung Pascasarjana UGM. Dari beberapa pemateri, saya mencatat beberapa poin penting dari pemaparan Pak Budi (Sekjen PMI Pusat) yang di awal presentasi memutar film dokumenter bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi. Pak Budi pernah menjabat sebagai Kepala Staf Darurat Operasi yang sehari-hari memimpin operasi tsunami di Aceh selama hampir 3 bulan pertama bencana. Menurut Pak Budi ada tiga kata kunci yag menjadi konsep dalam manajemen bencana yaitu cepat, tanggap, dan terkoordinir. Dan juga yang penting yaitu masalah kemanusiaan harus diutamakan di atas segala kepentingan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya. 


Film "Hafalan Shalat Delisa"
Film Hafalan Surat Delisa yang diputar perdana serentak di seluruh jaringan bioskop pada Kamis (22/12/2011) diangkat dari novel laris berjudul sama karya Tere Liye yang disutradarai Sony Gaokasak dan diproduseri Chand Parwez Servia (Starvision). Pengambilan gambar dilakukan di Ujung Genteng, Sukabumi Selatan. Penyanyi Aceh, Rafli juga ikut terlibat dalam film ini dan menyanyikan musik pengiring film. 

Dikisahkan bahwa Delisa (Chantiq Schagerl) sedang mengikuti ujian praktik hafalan shalat di sekolahnya saat tsunami menghantam kawasan Lhoknga, Aceh Besar. Saat itu, Delisa mengingat kata ustad Rahman (Fathir Muchtar) untuk khusyuk atau fokus saat beribadah, sehingga Delisa tidak mendengar teriakan Ummi dan orang tua lainnya di sekolah saat itu untuk menyelamatkan diri dari tsunami dan meninggalkan ujian praktik hafalan shalat. 

Delisa hanyut dan akhirnya ditemukan oleh relawan dari AS, Smith (Mike Lewis). Kaki kiri Delisa luka dan terpaksa harus diamputasi. Delisa tinggal sebatang kara hingga ayahnya, Abi Usman (Reza Rahardian) yang selamat karena bekerja di kapal menemuinya di rumah sakit. Ayahnya selamat sedangkan Ummi (Nirina Zubir) dan ketiga kakak Delisa, Fatimah (Ghina Salsabila), Aisyah (Reska Tania Apriadi), dan Zahra (Riska Tania Apria) serta teman sepermainannya banyak yang menjadi korban tsunami. Walaupun kakinya tinggal satu, Delisa tetap mampu bertahan dan memberi semangat kepada teman-teman dan orang-orang yang disayangi untuk tidak mudah putus asa. 

Saat saya menonton, banyak keluarga yang membawa anaknya dan pemuda-pemudi muslim yang jarang ke bioskop mengkhususkan diri untuk menonton film ini karena kisah tsunami Aceh dan kisah agama yang diangkat. Tapi film ini menurut saya minus riset tentang kondisi di Aceh saat tsunami dan konteks budaya. 

Tokoh Fatimah di awal adegan melafalkan meunasah dengan munasah, dan perawat lokal saat di rumah sakit tidak berpakaian sesuai kaidah syariat, dan terjadi kerancuan saat ada dua relawan asing yaitu Smith dan Sophie mengajak ngobrol Delisa saat di rumah sakit dengan bahasa asing tanpa disertai penerjemah, sehingga Delisa tidak memahami apa yang mereka katakan. Film ini juga sarat dengan teknologi CGI (computer graphic integrated) saat memvisualisasikan tsunami, kapal induk, helikopter, areal tsunami, dan efek surga. 

Sumber: Serambi Indonesia
More aboutFilm "Hafalan Shalat Delisa" Berkisah Tentang Tsunami Aceh

Tulisan dan Kematian

di tulis oleh: Tulisan Terakhir! on Jumat, 09 Desember 2011

Ini bukan tentang kematian mu. Tapi tentang kenyataan bahwa kematian dapat memutuskan hubungan begitu cepat.

Tentang kernyataan di tinggalkan lebih menyakitkan dari meninggalkan. Mungkin ini klasik atau sebuah romansa kegelisahan yang berlebihan tapi demikian adanya, kau mungkin orang yang tepat untuk mengatakan aku ingin memilikimu selamanya namun kenyataan membuktikan satu dengan yang lain akan terpisah suatu waktu tanpa seorang pun yang mampu membendung.

Kecuali marasa kehilangan berpisah juga tentang meninggalkan serpihan-serpihan kepribadian. Sedikit banyak keutuhan kepribadian kita hari ini tidak terlepas dari serpihan-serpihan kepribadian orang-orang yang pernah bersama kita. Lalu mereka pergi. Serpihan itu kemudian terakumulasi menjadi satu bentuk yang utuh dalam diri kita.

Ah, aku tidak mau hanya meninggalkan itu. Aku ingin kau mengetahui tentang ku lebih dari yang kau tau selama kita bersama atau mungkin kita belum sempat saling berkenalan. Kau belum pernah benar-benar tau apa yang aku inginkan, tentang sesuatu yang belum aku lakukan atau sesuatu yang ingin aku kerjakan.


Sekarang aku ingin kau mengetahuinya, bahwa aku ingin hidup setelah mati. Karena suatu saat yang tertinggal dari diri kita hanya kata-kata. Karena itu aku menulis. (rj)
More aboutTulisan dan Kematian

Pariwisata Aceh Andalkan Kesenian dan Kuliner

di tulis oleh: Tulisan Terakhir! on Kamis, 08 Desember 2011

8 Desember

Pemerintah Aceh menargetkan 20 persen penambahan kunjungan wisatawan mancanegara ke provinsi itu pada 2012 dibandingkan tahun sebelumnya. "Sekitar 20 ribu wisman berkunjung ke sejumlah wilayah di Aceh pada 2010 dan untuk 2012, kita targetkan meningkat antara 15-20 persen," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Aceh, Jasman J Ma’ruf, di Banda Aceh, Kamis (8/12/2011).


Target penambahan kunjungan wisman dan wisatawan nusantara itu diharapkan tercapai, menyusul membaiknya berbagai infrastruktur penunjang sektor kepariwisataan di provinsi ujung paling barat Indonesia ini. "Kalau sarana dan prasarana pendukung sektor pariwisata di daerah ini sudah membaik, kita harapkan situasi Aceh ke depan juga semakin kondusif sehingga tidak ada keraguan orang datang ke provinsi ini," katanya.


Apalagi, lanjut Jasman, pemerintah telah menetapkan program "Visit Aceh Year 2013" yang diharapkan dapat membawa dampak terhadap pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh di provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa itu.


Untuk menyambut "Visit Aceh Year 2013" Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Aceh saat ini sedang menyusun berbagai persiapan dan program, salah satunya yakni menggelar sejumlah kompetisi seperti terkait dengan kuliner yang dinilai dapat menarik orang berkunjung ke Aceh.


Menurut Jasman, dengan berbagai tradisi dan kesenian serta kuliner yang dimiliki daerah ini dan jika dikemas dengan baik akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.


Ia juga menjelaskan usaha pengembangan sektor kepariwisataan di Aceh tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat serta Syariat Islam yang berlaku khusus di provinsi ini. "Pariwisata tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Pemahaman bahwa tidak semuanya pariwisata itu identik dengan maksiat juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat," kata Jasman J Ma’ruf.

sumber: kompas

More aboutPariwisata Aceh Andalkan Kesenian dan Kuliner
  • Share